Diposkan pada Tantangan Menulis

Di Balik Papan Sekat Part 4

PhotoGrid_1492647841128

Aku ingin menyerah, namun mengapa hanya karena jemarimu aku ingin merengkuhmu kembali.

Dahlia menatap bosan ke arah pintu kafe yang masih tertutup. Suasana di dalam kafe masih gelap. Ia menopangkan berat tubuhnya pada bagian depan motor, meletakkan tangannya di atas dagu. Bosan dengan kafe yang tak bercahaya, ia menegakkan badan dan mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ada di depan kafe. Ia membalikkan tubuh, memastikan belum ada kendaraan yang dikenalinya.

Tiap pagi, ia akan menyempatkan diri untuk datang ke sini sebelum kafe buka. Mungkin saja ia bisa mengenali sosok di balik papan sekat yang datang sebelum kafe buka. Tapi, sampai detik ini ia tak mendapati pria itu hadir dalam pandangan matanya. Sudah seminggu ia berada di sini, merelakan waktunya untuk melakukan hal yang terlihat kurang kerjaan ini. Ia sedang dalam masa tenang sebelum UAS, jadi ia bisa bebas melakukan apa saja tanpa mengganggu jadwal kuliahnya, termasuk memuaskan rasa penasarannya terhadap sosok di balik papan sekat itu.

Tak ada yang berubah dari kebiasaannya, ia masih suka menunggu di depan meja pengambilan pesanan untuk kemudian mengamati jemari kesukaannya. Sisanya ia hanya duduk, belajar atau sekedar membaca buku. Tapi ada satu hal yang mengganggu dirinya. Akhir-akhir ini seseorang tak dikenal suka duduk di sampingnya. Dan ia tak mengerti mengapa ia selalu datang di saat kafe sedang ramai, dan otomatis hanya sofa mungil di sebelahnya akan kosong. Tempat duduknya memang jarang jadi tempat favorit untuk makan siang. Jadi, pria itu selalu berada di sana, seperti menemaninya sekaligus membuatnya jengah.

Pria itu berperawakan tinggi, agak gembul tapi padat berisi. Dia membuat Dahlia gemas karena pipinya yang seperti bakpao. Sayangnya pria itu selalu membisu. Sekedar menyapa pun tak pernah. Semakin membuat Dahlia gemas karena geram. Pernah sekali mereka berdiri berdampingan. Saat itu mereka sama-sama hendak beranjak pulang. Dahlia bahkan perlu mendongak setinggi-tingginya untuk menatap wajah pria itu. Merasa ciut oleh perbedaan yang terlalu signifikan, Dahlia memilih untuk menunduk ketika harus berhadapan dengan pria tinggi itu.

Pria itu sering menggunakan kacamata saat membaca buku, tidak seperti dirinya. Kacamata sudah seperti perpanjangan di wajahnya. Tak ada sedetik saja, pandangannya akan memburam dan tak menyenangkan. Dahlia sudah kagum dengan rahang tegas namun berpipi gembul milik pria itu. Ditambah kacamata yang bertengger di hidungnya, pria itu jauh lebih menawan sebagai pria. Tak ada lagi kesan imut di dalamnya.

Sebuah suara membuyarkan lamunan Dahlia. “Hai Dahlia, udah lama di sini?” sapa Theo.

Dahlia menoleh, menemukan Theo di sana. Ia tersenyum sekilas sebelum menjawab, “Iya nih. Aku bahkan lebih rajin dari pegawainya.”

“Masuk sekarang?” tanya Theo.

“Iya deh, bosen mas di sini.” Dahlia turun dari atas motornya dan mereka mulai berjalan. “Ntar puterin lagu yang kece ya mas Theo! Butuh pencerahan nih!” pinta Dahlia pada Theo sambil berjalan.

“Oke deh, siap!”

Dahlia berjalan cepat menuju sudut favoritnya. Ia tak lagi peduli apa yang terjadi di belakangnya. Bahkan ia tak menyadari langkah yang terdengar beberapa saat setelah mereka masuk ke dalam kafe. Ia tak merasakan kehadiran seseorang yang langsung masuk menuju bagian belakang kafe. Dahlia sibuk mengamati lukisan favoritnya ketika sosok itu menyelinap masuk. Saat sosok itu telah berlalu dari hadapan Dahlia, barulah Dahlia memfokuskan pandangannya pada seluruh sudut kafe. Masih Sepi.

Ia duduk di kursi favoritnya, bersandar pada pungung sofa, memejamkan matanya dan menikmati lagu yang terputar melalui speaker di sudut-sudut kafe. Rasa kantuk masih mengendap di matanya. Semalam ia begadang karena tak tenang. Memikirkan sosok yang seperti menghantui harinya. Setelah lamunan panjang, Dahlia memutuskan sesuatu. Ia, akan menyerah.

Merasa bodoh sudah meluangkan banyak sekali waktu untuk seseorang yang bahkan tak pernah ia temui. Untuk sosok yang bahkan tak mau menunjukkan dirinya. Mungkin ia hanya terlalu terobsesi oleh rasa kagum yang berlebihan. Tak mungkin kan ia jatuh cinta hanya karena suara dan jemari? Jadi, penantiannya akan berakhir hari ini. Ia akan menghadapi Ujian Akhir Semester besok, ia perlu banyak tenaga dan waktu untuk ujiannya. Dia tak perlu menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya untuk hal-hal sepele seperti ini. Ia akan berhenti mencari tahu, ia akan berhenti terlalu tenggelam. Semoga hatinya tak berkhianat.

“Dahlia, mau pesen apa?” Teriakan itu terdengar di telinga Dahlia, membuatnya mengerjapkan mata sejenak sebelum mulai beranjak menuju kasir.

“Yang sama mas tadi siapa?” tanya Dahlia tanpa peringatan ketika sampai di depan Theo, masih berusaha untuk terakhir kalinya.

“Hah?” Theo memasang wajah kaget.

“Yang bareng mas Theo tadi siapa?” Dahlia menjelaskan maksud dari pertanyaannya.

“Oh, itu barista kita,” jawab Theo dengan nada ringan. “Jadi, mau pesan apa?”

“Cokelat panas dong mas. Panas lho ya, jangan anget. Kurang sip kalau anget,” jelas Dahlia sedikit menggebu-gebu.

Ia sedang butuh ditenangkan. Cokelat panas selalu membuat moodnya jauh lebih baik. Sebenarnya ia sedikit kesal, segala usaha pencariannya terasa sia-sia. Perjuangannya untuk mengejar rasa kagumnya terasa tak berguna. Sampai di depan meja pengambilan pesanan, wajah Dahlia masih sendu sekaligus lelah. Namun melihat sebuah tangan menjulur untuk memencet bel yang sebenarnya tak perlu, membuat dadanya membuncah. Ada rasa yang tak dipahaminya. Rasa yang membuat semangatnya yang luruh bagai debu, kembali lagi dengan mudahnya. Tapi yang perlu dipertanyakan, kapan pria itu masuk ke dalam kafe ini. Apakah ia terlalu sibuk dengan hatinya yang kacau sehingga tak menyadari sosok itu menyelinap ke dalam kafe dan sudah ada di balik papan sekat kebanggaannya?

~TBC~

Penulis:

Penggila Buku Penimbun Buku Elf Clouds String Yesung and Henry Fans Everlasting Friends of Super Junior

Satu tanggapan untuk “Di Balik Papan Sekat Part 4

Tinggalkan komentar